Ketika anak (bukan) menjadi prioritas
Saya dan
suami saya telah jauh hari membicarakan mengenai keputusan saya bekerja. Suami
saya dengan ridho nya membiarkan saya bekerja dan menjadi ibu untuk anak nya.
Dalam pembicaraan kami saya seringkali membandingkan diri dengan ibu yang
bekerja di ranah domestik.
Saya yang
sering kali merasa terintimidasi dengan mereka yang mencibir pilihan saya. Saya
masih ingat betul ketika saya pertama kali pindah ke rumah yang kami tinggali
sekarang, ada ibu komples yang bertandang dan berbincang dengan saya.
“ Nanti
tetep kerja tant, kalo udah punya anak?”
“Iya” jawab
saya simple
“Nanti
anaknya ga keurus lho, ga deket sama ibu nya, jadi nakal …….” Masih panjang
komentar mereka atas keputusan saya ini
Sepulang
mereka dari rumah, tangis saya meledak. Saya langsung berdiskusi mewek
ke suami. Jawaban suami sey simple
Kalo mau
jadi ibu rumah tangga dan kerja ya memang harus double. Double kerjanya,
kekuatannya, energinya. Setiap rumah tangga juga resepnya sendiri-sendiri.
Kalimatnya
memang simple, tapi membuat saya berfikir dan menakar kemampuan saya. Ini
pilihan saya, yang artinya saya sudah harus siap dengan segala konsekuensinya.
Lalu ketika
saya benar diamanahi seorang anak. Rasanya saya ingin membalikkan omongan
tetangga saya ini. Saya sadari benar keputusan saya sebagi ibu yang bekerja di
ranah publik.
Berat
memang. Sebenarnya masih banyak ibu-ibu hebat yang dalam menjalankan beberapa
peran dalam kehidupan mereka. Namun untuk saya sebagai langkahan awal, amatlah
berat menjalani tanggung jawab ini.
Ketika saya
mulai tahu bahwa saya tengah hamil, saya giat untuk mencari ilmu mengenai
kehamilan, terlebih mendekati proses persalinan. Saya ingin membuat saya “pintar”
agar dapat menjadi ibu yang pantas bagi anak saya.
PANTAS.
Proses
pemantasan saya sebagi ibu memang cukup panjang, untuk saya yang daya belajarnya
seadaanya proses ini sungguh membuat kepala saya pening heee
Memantaskan
diri menjadi ibu bukan berarti menjadi ibu yang sempurna.
Memantaskan
menjadi ibu merupakan salah satu cara agar dapat menciptakan anak dan keluarga
yang bahagia.
Saya
berproses dan berproses.
Saya
kuatkan diri saya menjadi ibu yang bekerja di ranah public.
Untuk saya,
urusan domestic tetap menjadi yang utama.
Prioritas
terbesar sekarang adalah anak.
Hal ini
sudah saya bicarakan dengan suami. Bahwa saat ini prioritas utama adalah anak.
Maka saya “tidak boleh” mengeluh saat sampai ke rumah. Saya harus tangggalkan segala
kekesalan dan kelelahan. Ketika sampai di rumah saya harus menjadi ibu
sepenuhnya untuk anak saya.
Untuk saya
kewajiban memprioritaskan anak tidak saya sepelekan, maka saya tetap memberikan
hak anak untuk di beri ASI dan hak anak untuk mendapatkan gizi seimbang. Lelah?
Ya saya tetap lelah. Tapi semua terbayarkan dengan kedekatan saya dengan anak
dan juga perkembangan anak yang baik baik dari segi fisik dan nonfisik.
Saya
kemudian dapat menjawab semua keraguan tetangga saya itu.
Toh dengan
ibu yang bekerja di ranah public saya tetap dapat menjalankan kewajiban saya
sebagi ibu. Tidak untuk jumawa, tapi menjadikan mereka paham sebenarnya semua
ibu yang ibu. Tidak ada pembedanya. Pembedanya hanya yang mau belajar atau
tidak.
Dan
sebenarnya tinggal pilihan kita. Apakah yang menjadi prioritas kita ?
#Odopfor99days
#Catatan07
Komentar
Posting Komentar