Ketika Kesendirian Datang
Satu hal
yang penting yang perlu kita sadari adalah meski kita merasa sendirian,
sebenarnya kita tidak pernah sendirian. Karena ketika 1 orang mendoakanmu atau
sejenak mengingatmu, ia telah menemanimu.
Catatan
Hening by Adjie Santoso Putro
Kalimat di atas seakan menohok saya ke dalam relung yang paling dalam. Semacam membuka
kenangan beberapa waktu silam ketika saya di dera stress bahkan sedikit
berujung depresi.
Saya yang
pernah menangis tersedu-sedu disudut rumah, mengayun anak saya yang masih 3
bulan diatas bouncher kencang-kencang.
Saat itu saya masih terselamatkan dengan ucapan salah satu teman yang dengan
kencang mengingatkan saya bahwa Adya baik-baik saja. Saya yang sedang sakit.
Saya yang
sakit ….
Saya yang
butuh obat untuk jiwa saya
Bukan anak
saya yang waktu itu hanya butuh ASI untuk menyambung kehidupannya
Entah
kenapa saya begitu takut dengan kesendirian. Kehidupan saya ini sosial banget …
saya senang berkumpul dan bercengkrama dengan orang banyak. Saya benar
menjalani kehidupan sosial saya dengan suka cita tanpa tekanan bahwa saya harus
di cap “gaul”. I just enjoy mingling with the people.
Kemudian
saya menikah dengan orang tipe introvert. Well, saya sebenarnya tahu si mas ini
bagaimana, tapi entah mengapa dikehidupan awal pernikahan kami, kemudian saya
menjadi “sendiri”.
Puncak
kesendirian saya sendiri dipacu oleh baby blues yang saya alami sesaat setelah
melahirkan dan kembali aktif bekerja. Saya yang belum bisa me-manage waqktu dan
diri saya dengan baik. Secara fisik saya yang baru saja cuti dengan waktu yang
cukup lama, terkaget karena harus bekerja dan kemudian mengurus rumah dan anak.
Belum lagi saya semacam terbebani harus memberikan ASI dengan memompa nya.
Suami saya sendiri sibuk dengan dunia barunya, dia sering meninggalkan saya
dimalam hari. Dia asik berkumpul dengan bapak-bapak tetangga atau memancing
sampai malam. Kebetulan belakang rumah kami ada empang yang semakin membuat si
suami lupa waktu. Belakangan saya keluarkan uneg-uneg saya dengan emosi yang
tak tertahankan dan saya baru menyadari ternyata itu dimaksudkan agar saya
istirahat. Suami saya tahu benar kalau ada dia, maka saya akan ngobrol panjang
dan alhasil waktu istirahat saya berkurang.
Saya
awalnya pendam perasaan kesendirian saya. Diluar saya tampak bahagia, tanpa
beban. Tapi jauh dihati saya ada perasaan yang enggan saya bagi. Saya tutup
rapat yang kemudian menjadi boomerang. Sedikit-sedikit saya mulai berdamai
dengan diri saya sendiri.
Bagaimana
prosesnya?
Entahlah,
saya jalani hidup saya waktu itu dengan lebih “nerimo” kata orang jawa.
Saya belajar memaafkan diri saya sendiri yang terlalu takut akan kesendirian yang masih terbawa kenangan masa muda yang penuh dinamika.
Saya belajar memaafkan diri saya sendiri yang terlalu takut akan kesendirian yang masih terbawa kenangan masa muda yang penuh dinamika.
Sedikit-sedikit
saya dan suami juga mulai saling membuka diri, kami belajar lagi dari awal.
Menyampaikan makna yang biasanya hanya tersirat dalam hati. Dan saya belajar
bahwa kehadiran itu tidak mutlak untuk menghadapi kesendirian, kadang tanpa
kehadiran pun kita tetap bisa menemani dan membersamai seseorang.
Jakarta, 17
Maret 2017
#Odopfor99days
Catatan06
Komentar
Posting Komentar