Perempuan Tanpa Nama

Permpuan itu menangis pilu, dibukanya kran air agar tak terdengar sampai luar. Dia menangis hingga nafasnya sesak, bahkan rasanya dadanya menjadi sakit karena tangisnya tidak bisa lepas.
Malam itu aku tidak dapat tidur, bayangan perempuan lain itu terus ada di kepalaku,. Sudah dua pil penghilang rasa sakit aku telan ditambah pil tidur, tapi tak juga membuat mataku terlelap. Pertengkaran tadi dengan Mas Arya mungkin adalah titik dari semua hal yang aku pendam.
Aku menikah di usia yang cukup matang, telah banyak hal kusiapkan dari segi materil dan non-materil. Aku sungguh berharap aku memiliki rumah tangga yang bahagia, rumah tangga seperti kedua orangtuaku. Aku ingin menjadi istri yang selalu dicintai suamiku dan dibanggakannya.
Pekerjaan mapan sebagai seorang Public Relation  aku tinggalkan setelah aku berkeluarga, Mas Arya sudah tauhu benar keputusan aku. Maka kujalani hidupku dengan memuja dan mengabdi padanya. Sampai 2 tahun pernikahan kami, anak belum kunjung hadir. Aku telah beberapa kali menangis dan selalu dikuatkan oleh Mas Arya. Tiap akhir pekan kami selalu melakukan perjalanan singkat ke daerah yang belum pernah kami singgahi dan beberapa kali kami memutuskan berwisatake luar daerah bahkan luar negeri.
Mas Arya begitu sempurna.
“Mas, sudah sampai rumah?”
Pesan singkat itu muncul dilayar ponsel milik suami. Pesan itu belum dibukanya, namun tertera jelas nama dan pesannya. Seketika itu dingin menusuk ke tulangku, insting kewanitaanku tiba-tiba muncul, menimbulkan ketidakpercayaan.
“Ada pesan masuk mas.” Aku berusaha bicara dengan nada datar.
“Oh iya bunda, sebentar aku makan dulu deh, laper neh.” Jawab Mas Arya singkat.
Dia makan dengan lahapnya. Hari ini memang aku memasak makanan kesukaannya. Pindang bandeng dengan kuah asam pedas ditambah dengan tempe mendoan habis dimakannya dalam sekejap. Dibukanya ponsel yang sedari tadi diam disudut meja makan. Tidak ada ekspresi yang janggal, hanya aku melihat bibirnya tersenyum dan ada binar tidak kentara di matanya.
Perasaan curiga ini lama-kelamaan tumbuh semakin subur. Pikiran buruk selalu saja aku pikirkan, terlebih ketika aku berusaha menghubungi Mas Arya dan tidak ada jawaban, Aku belakangan juga sering mimpi buruk. Bangun tengah malam, menangis secara tiba-tiba menjadi sebuah hal biasa belakangan ini.
Aku berulangkali meyakinkan diri, mengenyahkan pikiran buruk tentang Mas Arya, tentang pesan singkat yang isinya membuatku mual. Sekali lagi aku mencoba menipu diriku sendiri. Mas Arya tetap tidak melihat ada yang berubah dari diriku, dia hanya sesekali bertanya, apakah aku kecapaian atau bosan di rumah.
Aku sendiri sebenarnya takut bertanya. Aku pun takut menerima kenyataan, terlebih ketika segala kecurigaanku menjadi sebuah kebenaran. Terkadang aku ingin berbicara dan menanyakan pada Mas Arya, siapakah perempuan itu, perempuan itu tanpa nama. Tidak ada nama tertera yang nomor ponsel Mas Arya. Perempuan. Itu saja yang tersimpan.
Kali ini Mas Arya ada dinas ke luar kota, dia akan pergi selama 3 hari ke Bali. Bayangan perempuan itu kembali datang. Perasaan takut dan terindimidasi mendadak menggeluti diriku. Rona wajahku yang berubah menjadi pertanyaan Mas Arya. Ditinggalkannya setumpuk pakaian yang akan dibawanya dan mendekat padaku.
“Kenapa bunda? Kan ayah pergi ga lama.” Ucapnya sembari memelukku dari belakang
“Bunda takut ditinggal yah.” Hanya kalimat itu yang kemudian muncul dari lidah yang kelu.
.
.
.
.
.
.

 #SMANSAMenulis05 #septembermenulis #tantanganmenulis #30harimenulis


Komentar

Postingan Populer